Adakah Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai hak pekerja perempuan?
Ada. Cukup
banyak ketentuan yang mengatur mengenai perlindungan bagi pekerja perempuan,
baik dalam konvensi internasional maupun peraturan perundang-undangan di
Indonesia, yaitu antara lain:
- Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women yang telah diratifikasi dengan UU No. 7 Tahun 1984 (CEDAW)
- ILO Convention No. 183 Year 2000 on Maternity Protection (Konvensi ILO mengenai Perlindungan Maternitas)
- UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan)
- UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM)
- UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan)
UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan tidak memberikan kewenangan kepada pengusaha atau perusahaan untuk membuat perjanjian kerja yang memuat ketentuan larangan menikah maupun larangan hamil selama masa kontrak kerja atau selama masa tertentu dalam perjanjian kerja.
Ketentuan
ini tedapat pada Pasal 153 ayat 1 huruf e UU No.13/2003 yang berbunyi :
Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan
pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui
bayinya. Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan karena pekerja hamil adalah
batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja yang
bersangkutan sesuai Pasal 153 ayat 2 UU No.13/2003.
Bagaimana
apabila ada perjanjian kerja yang mengharuskan pekerja perempuan mengundurkan
diri ketika hamil?
Pada
prinsipnya, perusahaan tidak dapat memaksa Anda untuk mengundurkan diri karena Anda hamil. Seperti yang telah
dijelaskan diatas, bahwa kehamilan bukanlah alasan yang sah berdasarkan
hukum/Undang-Undang untuk digunakan sebagai alasan memberhentikan pekerja,
meskipun sudah diperjanjikan sebelumnya. Selain itu, perusahaan tidak dapat
memaksa Anda untuk mengundurkan diri, karena pada dasarnya pengunduran diri haruslah
didasarkan pada kemauan dari pekerja (pasal 154 huruf b UU No.13/2003). Oleh karena itu. perjanjian yang memuat
klausal pekerja akan diputus hubungan kerjanya karena hamil tidak beralasan
hukum dan dianggap batal demi hukum.
Bagaimana
peraturan mengenai cuti hamil/cuti melahirkan menurut Undang-Undang?
Pengaturan
mengenai cuti hamil ini diatur dalam Pasal 82 UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, yakni sebagai berikut :
- Pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
- Pekerja perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
Pekerja
perempuan berhak memperoleh cuti selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5
bulan sesudah melahirkan atau jika diakumulasi menjadi 3 bulan.
Bagaimana
peraturan mengenai cuti keguguran menurut Undang-Undang?
Dalam pasal
82 ayat 2 menyatakan bahwa pekerja perempuan yang mengalami keguguran kandungan
berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan
dokter kandungan atau bidan yang menangani kasus keguguran Anda.
Bagaimana
cara pengajuan cuti hamil/melahirkan?
Seorang
pekerja perempuan berhak atas cuti hamil/melahirkan dan manfaat bersalin.
Pekerja tersebut dapat memberikan pemberitahuan secara lisan atau tertulis
kepada manajemen yang mengatakan bahwa dia akan melahirkan anaknya dalam waktu
1,5 bulan. Dan setelah menerima surat pemberitahuan tersebut, maka manajemen
harus memberikan cuti di hari selanjutnya.
Seorang
pekerja perempuan yang telah melahirkan
anaknya harus memberikan pemberitahuan kepada perusahaan tentang
kelahiran anaknya dalam waktu tujuh hari setelah melahirkan. Anda juga perlu memberikan bukti kelahiran
anak Anda kepada manajemen dalam waktu enam bulan setelah melahirkan. Bukti ini
dapat berupa fotocopy surat kelahiran dari rumah sakit atau akte kelahiran.
Bagaimana
apabila kelahiran terjadi lebih awal sebelum pekerja perempuan tersebut sempat
mengurus hak cuti melahirkannya?
Pada
praktiknya, pekerja perempuan yang sedang hamil mungkin tak selalu mudah
menentukan kapan bisa mengambil haknya untuk cuti hamil dan melahirkan.
Misalnya, dalam hal pekerja tersebut melahirkan prematur sehingga pekerja
tersebut melahirkan sebelum mengurus hak cuti melahirkannya.
Apabila
kelahiran terjadi lebih awal dari yang diperhitungkan oleh dokter kandungan,
tidak dengan sendirinya menghapuskan hak atas cuti bersalin/melahirkan. Anda
tetap berhak atas cuti bersalin/melahirkan secara akumulatif 3 bulan. Pengusaha
dapat mengatur pemberian hak cuti yang lebih dari ketentuan normatif, atau
menyepakati pergeseran waktunya, dari masa cuti hamil ke masa cuti melahirkan,
baik sebagian atau seluruhnya sepanjang akumulasi waktunya tetap selama 3 bulan
atau kurang lebih 90 hari kalender.
Walaupun
sebenarnya pekerja perempuan dapat menentukan kapan cuti tersebut diambil,
misalkan pekerja perempuan boleh memilih cuti selama 1 bulan sebelum melahirkan
dan 2 bulan sesudah melahirkan sepanjang akumulasi waktunya tetap selama 3
bulan. Perusahaan - perusahaan di Indonesia memberikan kebebasan tenaga kerja
untuk bebas memilih waktu cuti, asalkan ada rekomendasi dari dokter/bidan dan
informasi waktu cuti kepada perusahaan.
Apakah
perusahaan tetap memberikan gaji selama pekerja perempuan menjalani cuti
hamil/melahirkan tersebut?
Selama 3
bulan cuti hamil/melahirkan tersebut, perusahaan tetap wajib memberikah hak
upah penuh, artinya perusahaan tetap member gaji pada pekerja perempuan yang
hamil meskipun mereka sedang menjalani cuti hamil/melahirkan.
Apakah biaya
melahirkan bagi pekerja perempuan ditanggung oleh perusahaan?
Pasal 4 ayat 1 UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja dan Pasal 2 ayat 3 PP No. 14 Tahun 1993 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja menyatakan bahwa :
Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 10 (sepuluh) orang atau
lebih, atau membayar upah paling sedikit Rp. 1.000.000,- sebulan, wajib
mengikutsertakan tenaga kerjanya dalam program jaminan sosial tenaga kerja yang
diselenggarakan oleh badan penyelenggara (yakni, PT Persero Jamsostek).
Sesuai Pasal
6 UU No. 3/1992 dan Pasal 2 ayat (1) PP No. 14/1993, lingkup program jaminan
sosial tenaga kerja saat ini adalah meliputi 4 (empat) program, yakni:
1. jaminan kecelakaan
kerja (JKK)
2. jaminan kematian (JK)
3. jaminan hari tua
(JHT)
4. jaminan pemeliharaan
kesehatan (JPK)
Dalam hal
ini, jaminan bagi pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan termasuk
dalam JPK yang menjadi hak pekerja. Cakupan program JPK ini termasuk Pelayanan
Persalinan, yakni pertolongan persalinan yang diberikan kepada pekerja
perempuan berkeluarga atau istri pekerja peserta program JPK maksimum sampai
dengan persalinan ke-3. Besar bantuan biaya persalinan normal setinggi-tinginya
ditetapkan Rp 500.000.
Apakah
perusahaan menanggung biaya persalinan bagi istri seorang karyawan?
Seperti yang
sudah dijelaskan diatas, bahwa pekerja berhak atas jaminan sosial diantaranya
program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK), cakupan program JPK termasuk
Pelayanan Persalinan yang diberikan kepada pekerja perempuan berkeluarga atau
istri pekerja peserta program JPK.
Jadi, jika
Anda telah diikutsertakan pada program JPK pada PT Persero Jamsostek,maka istri Anda berhak memperoleh bantuan biaya
persalinan dari PT PerseroJamsostek. Atau, jika perusahaan mengikutsertakan
Anda pada asuransi kesehatan dengan manfaat yang lebih baik dari JPK yang
diberikan PT Persero Jamsostek, maka biaya persalinan dapat ditanggung oleh
perusahaan asuransi tersebut. Meskipun, pada praktiknya, biaya yang ditanggung
bisa berbeda-beda, bergantung pada asuransi kesehatan yang diikuti perusahaan
Anda.
Apakah
seorang pekerja yang istrinya melahirkan atau mengalami keguguran mendapatkan
hak cuti?
Ya, pekerja
yang istrinya melahirkan atau pun mengalami keguguran berhak atas cuti kerja
selama 2 hari dengan upah penuh dari perusahaan tempatnya bekerja.
Apa saja
bentuk perlindungan bagi pekerja perempuan selama masa kehamilan?
Menurut
Pasal 76 ayat 2 UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, pengusaha dilarang
mempekerjakan pekerja perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya
bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja
antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
Pasal 3
Konvensi ILO No.183 tahun 2000 mengatur lebih lanjut bahwa pemerintah dan
pengusaha sepatutnya mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin bahwa
pekerja perempuan hamil tidak diwajibkan melakukan pekerjaan yang dapat
membahayakan kesehatan ibu dan anak dalam kandungan. Mempekerjakan seorang
wanita pada pekerjaannya yang mengganggu kesehatannya atau kesehatan anaknya,
sebagaimana yang ditentukan oleh pihak berwenang, harus dilarang selama masa
kehamilan dan sampai sekurang-kurangnya tiga bulan setelah melahirkan dan lebih
lama bila wanita itu merawat anaknya.
Apa kata
Undang-Undang mengenai hak bagi pekerja perempuan di masa menyusui anaknya?
Pasal 83 UU
No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa : pekerja perempuan yang
anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya
jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Dalam
penjelasan Pasal 83 tersebut diatur bahwa maksud dari kesempatan sepatutnya
tersebut adalah lamanya waktu yang diberikan kepada pekerja perempuan untuk
menyusui bayinya dengan memperhatikan tersedianya tempat yang sesuai dengan
kondisi dan kemampuan perusahaan yang diatur dalam peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama. Ketentuan Pasal 83 tersebut dapat diartikan sebagai
kesempatan untuk memerah ASI bagi pekerja perempuan pada waktu kerja.
Pasal 10
Konvensi ILO No.183 tahun 2000 mengatur lebih lanjut bahwa seorang pekerja
perempuan harus diberi hak untuk satu atau lebih jeda diantara waktu kerja atau
pengurangan jam kerja setiap harinya untuk menyusui bayinya, dan jeda waktu
atau pengurangan jam kerja ini dihitung sebagai waktu kerja, sehingga pekerja
perempuan tetap berhak atas pengupahan. Namun, hal tersebut tidak diatur dalam
UUNo.13/2003.
Lebih lanjut
Pasal 128 UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan mennyatakan bahwa semua pihak
harus mendukung pekerja perempuan untuk menyusui dengan menyediakan waktu dan fasilitas
khusus, baik di tempat kerja maupun di tempat umum. Fasilitas khusus tersebut
hendaknya diartikan oleh pengusaha untuk menyediakan ruang khusus menyusui atau
memerah ASI beserta tempat penyimpanannya. Sesuai dengan rekomendasi World
Health Organization, masa menyusui tersebut sekurang-kurangnya 2 tahun.
Apa benar
pekerja perempuan mendapatkan hak cuti menstruasi?
Percaya atau
tidak, jawabannya adalah benar. Sesuai
dengan UU no. 13 tahun 2003 pasal 81 pekerja perempuan yang dalam masa
menstruasi merasakan sakit dan memberitahukannya kepada manajemen perusahaan,
maka dia tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua dalam masa
menstruasinya. Implementasi hak ini ada yang dipersulit di beberapa perusahaan
yang meminta surat keterangan dokter untuk mendapat cuti menstruasi, ketika
faktanya jarang bahkan mungkin hamper tidak ada perempuan yang pergi konsultasi
ke dokter karena menstruasi.
Sumber :
- Undang - Undang No. 7 Tahun 1984 tentang ratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women
- Konvensi ILO No. 183 tahun 2000 mengenai Perlindungan Maternitas
- Undang - Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
- Undang - Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
- Undang - Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
·
·
·
·
Tidak ada komentar:
Posting Komentar